Selasa, 19 Maret 2013

sekaten; sebuah perayaan di pelataran

Selamat datang di Alun-alun Jogja. (Sstt, tunggu dulu, jangan buru-buru membayangkan alun-alun ini seperti Trafalgar Square-nya London atau seumumnya piazza di Eropah kontinental sana. Alun-alun itu walaupun kelihatan seperti lapangan kota, sesungguhnya tak lebih dari halaman depan sebuah rumah semata).

Yang membuatnya sedikit istimewa dibanding lazimnya pekarangan di sini, barangkali karena rumah itu cukup tua --lebih 250 tahun umurnya. Areanya lumayan besar pula, hingga pagar luarnya (yang setebal tiga setengah meter itu) perlu dibuat sepanjang empat kilometer untuk menutup kelilingnya. Juga penghuninya yang dalam perjalanan sejarah ternyata telah menjadi cikal bakal peradaban kota ini. Rumah itu, kita tahu, ya karaton Ngayogyakarta.

Di bulan Rabiulawal begini, seperti juga pada Rabiulawal abad-abad sebelumnya, alun-alun itu akan disesaki oleh gelombang manusia, yang bergerak seperti alunan ombak --cocok dengan kata "alun-alun" itu. Ada apa? Meramaikan pasar malam Sekaten, tentu saja.

Di alun-alun, yang "cuma" pekarangan itu, dulu rakyat dapat menemui rajanya. Lantas mereka juga dapat bertemu sesamanya. (Tiba-tiba kita teringat pelataran rumah nenek di desa, tempat kawan-kawan berkumpul dan bermain bersama-sama secara merdeka).
Ah, jangan-jangan, justru pekarangan-pekarangan seperti itu adalah public space a la Jawa, ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar