Selamat datang di Alun-alun Jogja. (Sstt, tunggu dulu, jangan buru-buru
membayangkan alun-alun ini seperti Trafalgar Square-nya London atau
seumumnya piazza di Eropah kontinental sana. Alun-alun itu walaupun
kelihatan seperti lapangan kota, sesungguhnya tak lebih dari halaman
depan sebuah rumah semata).
Yang membuatnya sedikit istimewa dibanding lazimnya pekarangan di sini,
barangkali karena rumah itu cukup tua --lebih 250 tahun umurnya. Areanya
lumayan besar pula, hingga pagar luarnya (yang setebal tiga setengah
meter itu) perlu dibuat sepanjang empat kilometer untuk menutup
kelilingnya. Juga penghuninya yang dalam perjalanan sejarah ternyata
telah menjadi cikal bakal peradaban kota ini. Rumah itu, kita tahu, ya
karaton Ngayogyakarta.
Di bulan Rabiulawal begini, seperti juga pada Rabiulawal abad-abad
sebelumnya, alun-alun itu akan disesaki oleh gelombang manusia, yang
bergerak seperti alunan ombak --cocok dengan kata "alun-alun" itu. Ada
apa? Meramaikan pasar malam Sekaten, tentu saja.
Di alun-alun, yang "cuma" pekarangan itu, dulu rakyat dapat menemui
rajanya. Lantas mereka juga dapat bertemu sesamanya. (Tiba-tiba kita
teringat pelataran rumah nenek di desa, tempat kawan-kawan berkumpul dan
bermain bersama-sama secara merdeka).
Ah, jangan-jangan, justru pekarangan-pekarangan seperti itu adalah public space a la Jawa, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar